Jumat, 17 Desember 2010

Sindroma Guillain-Barre (SGB)


Latar Belakang
            Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain polyneuritis akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril, poli radikulopati dan acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan motorik progresif dan arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik otonom dan batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus.
            Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Landry pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia sebut sebagai febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali mengemukakan penilaian melalui cairan serebrospinal (CSF), disosiasi albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap hitung sel CSF normal ). Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu, akan mengarah kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan poliomyelitis dan neuropati lainnya.
Epidemiologi
Ø  Di Amerika Serikat     : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 – 2,0 per 100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang ada di Amerika Serikat
Ø  Internasional               : angka kejadian sama yakni 1 – 3 per 100.000 orang per tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter memiliki predileksi pada musim panas.
Ø  Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh penurunan mekanisme imunosupresor.
Ø  Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1
Ø  Berkaitan dengan faktor resiko genetik yaitu FcgRIIa-H131 dan alel homozigot (vs R131)

I. Definisi
            Sindroma Guillain Barre, adalah polineuropati yang menyeluruh , dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi secara spontan atau sesudah suatu infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang.

II. Etiologi
            Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune responde maupun immune mediated process.
            Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti infeksi saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau 3 minggu sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang selubung myelin yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan paralysis, kelemahan otot dan kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya sindrom.

III. Patofisiologi
            Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri dari atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrate terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang, dan tampak pula mikrofag serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Seranut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.
            Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversible dan menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakam perwujudan reaksi imunopatologik walaupun segenap radiks terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan keadaan patologik itu dikenal sebagai poliradikulopatia atau polyneuritis post infeksiosa. Atau lebih dikenal sebagai Sindroma Gullain Barre.

IV. Gambaran Klinis
            Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresifitasnya akan berhenti setelah berjalan selama 4 minggu, lebih kurang 50% akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4 minggu.
            Pasien dengan SGB dijumpai adanya kelemahan disertai dengan diestesia, perasaan kebas, geli pada ekstremitas, kelemahan ini terutama pada otot-otot proksimal, kaki lebih sering terkena dibandingkan lengan. Parestesia terjadi menjalar secara proksimal tetapi jarang meluas melewati pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Refleks tendon melemah, bahkan bisa menghilang dalam beberapa hari perjalanan penyakit.
            Kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang yang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan dapat pula terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadii secara cepat, dalam waktu kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis.
            Gejala motorik biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki, tetapi kadang-kadang gangguan tampak segmental, otot-otot proksimal dan distal terganggu dan reflek tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung biasanya ditemukan.
            Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50% kasus dan sering bilateral. Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena,khususnya yang mengurus lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra ocular. Terlibatnya nervi kraniles dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.
            Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung, hipotensi postural, hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi gejala dan tanda klinik sindrom ini.
            Proses penyembuhan biasanya dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya progesifitas klinik. Namun demikian, proses penyembuhan bisa tertunda selama 4 bulan. Secara klinis banyak penderita yang bisa sembuh secara fungsional.

V. Diagnosa
  1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdiri dari kelemahan motorik (terutama bagian proksimal) yang meluas ke atas, arefleksia, gangguan sensorik bagian distal yang ringan, dan kelemahan otot wajah bilatelar (merupakan petunjuk penting).
  2. Punksi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan protein dalam cairan serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Pada saat awal, protein dalam cairan serebrospinal dapat normal tetapi meningkat dalam beberapa hari. Dijumpai peningkatan protein > 0,55 g/dL, tanpa pleositosis ( jumlah sel-sel abnormal dari CSF).
  3. Pengobatan beratnya kelemahan motorik pada SGB tidak dapat dipastikan pada awal penyakit. Oleh karena itu, dokter harus mengenal penderita polyneuritis inflamatorik akut dan melakukan pemantauan fungsi pernafasan dengan teliti, termasuk analisa gas darah serta kapasitas vital paru hungga kelemahan motorik mencapai titik terendah (menetap). Hal ini merupakan hal yang penting.
  4. Elektrodiagnostik (EMG) memberikan tanda-tanda demielinisasi yabg terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantaran saraf, blok hantar saraf  (conduction blok) atau disperse temporal, dan gelombang F (F-wave)  yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 – 10 hari dan terdiri dari F-wave  yang melambat karena terkenanya radiks , didikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction blok)  dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari penurunan kecepatan hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.

VI. Diagnosa Banding
Ø  Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati
Ø  Sindrom, Kauda Equina
Ø  Sindrom Konus Medullaris
Ø  HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati
Ø  HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal
Ø  HIV-1 dengan mononeuropati multiple
Ø  HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular
Ø  HIV-1 dengan poliradikulopati progresif
Ø  HIV-1 dengan mielopati
Ø  Penyakit Lynne
Ø  Myastenia Gravis
Ø  Neuropati toksik
Ø  Keracunan organophospat



VII. Pemeriksaan
  1. Diagnosa didasarkan atas adanya gejala kelemahan ascenden dengan arefleksi. Pemeriksaan punksi lumbal, elektrodiagnosis, atau kadang MRI hanya sebagai pendukung diagnosis
  2. Khas pada pemeriksaan punksi lumbal atas dugaan demielinisasi ( yakni peningkatan protein) tanpa disertai adanya tanda infeksi aktif (kurangnya pleositosis LCS), merupakan temuan Guillain Barre.
Ø  Nilai NCS bisa saja normal dalam 2 minggu ke atas sejak adanya gejala, dan kadang proteinnya bisa jadi tidak bertambah tinggi dalam 1 minggu.
Ø  Sebagian besar pasien memiliki leukosit di bawah 10 per cc, tapi kadang ditemukan sedikit meningkat (10-50 per cc).
  1. Kriteria terjadinya kegagalan nafas pada SGB :
Ø  Kapasitas vital < 1L ; diperlukan observasi di ICU
Ø  33% memerlukan intubasi
Ø  Indikasi intubasi:
-          Kapasitas vital < 12-15 ml/Kg, khususnya dengan derajat cepat
-          Inspirasi paksa negative ; 25 cmH2O
-          Hipoxemia ; PaO2 80mmHg
-          Kesulitan sekresi
-          Waktu onset ; 7 hari
Ø  Waktu bernafas ; 50% < 3 minggu
Ø  Kadang-kadang berhubungan dengan aspirasi

VIII. Terapi
            Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama, jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. Oleh karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia, psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa minggu.
            Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi. Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi. Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya adalah :
Ø  Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari
Ø  Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur
Ø  Tidak sanggup berdiri
Ø  Peninggian kadar enzim hati
Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi.
Belum ada drug of choice  yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan.
Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability  pada pasien SGB, namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg.
The Dutch Guillain-Barre Study Group  mengemukakan pengobatan dengan IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan dengan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian IVIg dibandingkan plasma exchange.
IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange, sehingga hanya salah satu terapi saja yang digunakan.
Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus seperti hepatitis dan HIV.
IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma juga dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi. Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah, tetapi gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi sebelumnya terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan.
Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian, apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.
Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini.
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan.
            Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.

IX. Prognosis
            Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi kelumpuhan total.
            Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset, bagimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik  kebas, sensori ataxia, dan disestesia. Angka kematian <5% pada pengobatan yang professional. Penyebab kematian biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan henti jantung.
            Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat, memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada pengobatan spesifik.

X. Kesimpulan
            Pada pasien yang diduga SGB, pemeriksaan terkait harus segera dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Pemantauan pasien secara kontinu diperlukan untuk memberikan terapi lebih intensif apabila diduga telah mengalami paralysis otot-otot respirasi.Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
  1. PDSSI, Editor : Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada University    Press, Yogyakarta, 2005
  2. Mack, KJ, Sindrom Guillain-Barre, http://www.emedicine.com, 2004
  3. Howard, L. Werner, Lowrence P. Levitt, Buku Saku Neurologi,  Edisi ke V, EGC, Jakarta, 2001
  4. Asnawi C. Margono, Neuropati, Kapita Selekta, Edisi TI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996
  5. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
  6. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com, May 2004

           




0 komentar:

newer post older post Home