Senin, 23 Januari 2012

Pemanfaatan Madu di Dunia Kesehatan

0 komentar

Dalam dunia kesehatan, pemanfaaatan madu bukanlah hal yang asing. Ada beberapa aturan yang harus diperhatikan jika anda mengkonsumsi madu untuk tujuan pengobatan, yakni perhatikan dosis dan efek sampingnya.
1.   Dosis
      Dosis madu dianjurkan untuk orang dewasa adalah 100 – 200 gram sehari, diminum tiga kali sehari, pagi sebanyak 30 - 60 gram, siang 40 – 80 gram, dan malam 30 – 60 gram. Disarankan satu jam setengah atau dua jam sebelum makan atau tiga jam sesudah makan. Untuk anak-anak, dosis madu adalah 30 gram sehari.          Madu sebaiknya diminum dengan campuran air agar lebih mudah dicerna dan mencapai peredaran darah, ke jaringan, dan sel tubuh (Yoirish N, 1959)
2.   Efek Samping
      American Journal of Clinical Nutrition tahun 1995 melaporkan konsumsi madu pada orang normal dapat menimbulkan diare atau gangguan perut. Hal ini mungkin disebabkan kandungan fruktosa madu cukup tinggi. Kadar glukosa madu termasuk yang tertinggi sekelompok buah apel dan pir (Dotinga R, 2004). Tingginya fruktosa madu pada beberapa orang dapat menyebabkan gangguan penyerapan yang disebut malarbsorpsi fruktosa. Hal ini cukup merepotkan bagi orang-orang yang sebelumnya punya pencernaan yang sensitif. Namun hal tersebut justru menguntungkan untuk orang yang punya keluhan susah buang air besar (Ladas SF, 1995)
3.   Perawatan luka dan luka bakar
      Penggunaan madu untuk perawatan sudah banyak dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Dunia kedokteran modern saat ini telah banyak membuktikan madu sebagai obat yang unggul (Suranto A, 2007). Sebuah laporan menunjukkan luka yang dibalut dengan madu menutup pada 90 % kasus. Pada luka bakar derajat ringan, penyembuhan dengan olesan madu berlangsung lebih cepat. Pasien yang luka bakar berat yang harus ditransplantasi kulit dipercepat penyembuhannya dengan madu (Subrahmanyam, 1991)
      Penelitian yang dimuat di sebuah jurnal bedah tahun 1991  menunjukan keunggulan madu dibandingkan obat topikal Silver Sulfadiazin untuk luka bakar. Sejumlah 104 wanita dan pria dengan berbagai derajat luka bakar dibagi 2 kelompok. Kelompok pertama mendapatkan balutan madu dan kelompok kedua dibalut dengan obat topikal Silver Sulfadiazin. Adapun perbedaaan hasilnya ditujnjukkan dalam tabel 2.2 sebagai berikut.
TABEL 2.3 Perbandingan Madu dan Silver Sulfadiazin
Kondisi Luka
Kelompok Madu
Kelompok Silver Sulfadiazin
Jaringan tumbuh rata-rata
7,5 hari
13,4 hari
Luka tidak mengandung kuman
91%
7%
Kesembuhan
15,4 hari
17,2
Keluhan nyeri dan bekas luka
Lebih sedikit
Lebih banyak
(Sumber: Subrahmanyam,1991.Tropical Aplication of Honey in Treatment of Burns)
      Madu merangsang terbentuknya kulit yang baru dan sehat sehingga jarang membuat bekas luka yang jelek. Kandungan madu yang kaya nutrisi membuat pasokan zat-zat yang dibutuhkan penyembuhan luka selalu cukup (Broadhurst, 2000).
      Manfaat lainnya adalah madu dapat mengurangi peradangan yang ditandai dengan berkurangnya nyeri, bengkak, dan luka yang mengering. Salah satu penyebabnya karena madu memiliki osmolaritas yang tinggi hingga menyerap air dan memperbaiki sirkulasi serta pertukaran udara di area luka. Selain itu, madu memiliki efek membersihkan. Hal ini dikarenakan madu tidak bersifat lengket pada luka dan jaringan mati turut terangkat hingga luka menjadi bersih (Broadhurst, 2000).
      Madu berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh karena dapat meningkatkan jumlah sel darah putih. Jadi, kemampuan madu untuk menghambat radikal bebas akan mengurangi kerusakan jaringan, dan kemampuannya merangsang sel darah putih akan mempercepat penyembuhan. Madu juga membuat lingkungan menjadi lembab yang mendukung pembentukan kulit baru (Broadhurst, 2000).
4.   Mengandung antibiotika
      Efek antibakteri madu pertama kali dikenal tahun 1892 oleh van Ketel. Awalnya, efek antibakteri ini diduga karena kandungan gula madu yang tinggi, yang disebut efek osmotik. Namun, penelitian lebih lanjut menunjukkan adanya zat inhibine yang pada akhirnya diidentifikasi sebagai hidrogen peroksida yang berfungsi sebagi antibakteri (Suranto A, 2007)
a.   Efek Osmotik
      Madu terdiri dari campuran 84% gula dengan kadar air sekitar 15 – 20% sehingga sangat tinggi kadar gulanya. Sedikitnya kandungan air dan interaksi air dengan gula tersebut akan membuat bakteri tidak dapat hidup . Tidak ada bakteri yang mampu hidup pada kadar air kurang dari 17% (Molan PC, 2000)
      Berdasarkan efek osmotik ini, seharusnya madu yang diencerkan hingga kadar gulanya menurun akan mengurangi efek antibakteri, namun, kenyataannya, ketika madu dioleskan pada permukaan luka yang basah dan tercampur dengan cairan luka, efek antibakterinya tidak hilang. Madu tetap dapat mematikan bakteri meskipun diencerkan hingga 7 – 14 kali. Dengan demikian, disimpulkan ada faktor lain yang menunjang efek antibiotika madu (Suranto A, 2007)
b.   Aktivitas hidrogen peroksida
      Madu juga mengandung zat lain yang dapat membunuh bakteri yaitu hidrogen peroksida. Kelenjar hipofaring lebah madu mensekresikan enzim glukosa oksidase yang akan bereaksi dengan glukosa bila ada air dan memproduksi hidrogen peroksida. Reaksi kimiawi ini berlangsung sesaat,tetapi dalam jumlah kecil terus terbentuk hingga madu matang. Bila madu bereaksi kembali dengan air maka produksi hidrogen peroksida akan meningkat lagi. Konsentrasi hidrogen peroksida pada madu sekitar 1 mmol/l, 1000 kali lebih kecil jumlahnya daripada larutan hidrogen peroksida 3% yang biasa dipakai sebagai antiseptik. Meski konsentrasinya lebih kecil, efektivitasnya tetap baik sebagai pembunuh kuman. Efek samping hidrogen peroksida seperti merusak jaringan akan diatasi madu dengan zat antioksidan dan enzim-enzim lainnya (Suranto A, 2007)
c.   Sifat asam madu
      Ciri khas madu lainnya adalah bersifat asam dengan pH antara 3,2 – 4,5, cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang berkembang biak rata-rata pada pH 7,2 – 7,4 (Suranto A, 2007)
d.   Faktor fitokimia
      Pada beberapa jenis madu juga ditemukan zat antibiotik. Zat tersebut disebut faktor non-peroksida. Madu selama ini telah memiliki faktor tersebut adalah madu manuka (Leptospermum scoparium) berasal dari Selandia Baru. Di Australia, madu dari spesies Leptospermum yang lain, jellybush, juga ditenggarai memiliki zat non-peoksida ini (Suranto A, 2007).
e.   Akivitas fagositosis dan meningkatkan limfosit
      Fagositosis adalah mekanisme membunuh kuman oleh sel yang disebut fagosit, sedangkan limfosit adalah sel darah putih yang terbesar perannya dalam mengusir kuman. Penelitian terbaru memperlihatkan madu dapat meningkatkan pembelahan sel limfosit, artinya turut memperbanyak pasukan sel darah putih tubuh. Selain itu, madu juga meningkatkan produksi sel monosit yang dapat mengeluarkan sitokin, TNF-alfa, interleukin 1, dan interleukin 6 yang mengaktifkan respon daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kandungan glukosa dan keasaman madu juga secara sinergis ikut membantu sel fagosit dalam menghancurkan bakteri (Suranto A, 2007)
      Beberapa hal yang membuat efek antibakteri madu berbeda-beda adalah kandungan hidrogen peroksida dan non-peroksida, seperti vitamin C, ion logam, enzim katalase, dan juga ketahanan madu terhadap suhu dan sensitifitas enzimnya terhadap cahaya.
            Pada dasarnya, semua madu asli mempunyai sifat antibakteri karena kadar gulanya yang tinggi. Beberapa ahli berpendapat, efek antibakteri madu secara umum memang akan berkurang bila madu bercampur atau diencerkan. Efek madu sebagai antibakteri terbaik diperoleh dari penggunaan topikal (dioleskan) (Suranto A, 2004)
newer post
older post