1.1 Pendahuluan
Pemphigus vulgaris merupakan kelainan kulit berlepuh yang diawali dengan adanya vesikel dengan dasar yang eritematus. Pemphigus vulgaris sangat jarang (1/1000000) merupakan penyakit lepuh autoimun intraepidermal. Penyakit ini menyerang kulit dan selaput lendir, serta berpotensi mengancam kehidupan. Pemphigus vulgaris ditemukan terutama dalam masyarakat keturunan Yahudi Ashkenazi dan umumnya timbul usia 60 tahun.1
1.2 Definisi
Pemphigus adalah penyakit berlepuh yang dapat mengenai kulit dan membran mukosa, ditandai dengan bula intraepidermal yang terjadi akibat proses akantolisis, dan disertai adanya sirkulasi antibodi IgG terhadap permukaan sel keratosit. Perjalanan pemphigus bersifat kronik, sering diikuti kekambuhan akut, dan kadang dapat berakibat fatal.2
1.3 Insidensi
Seringkali terjadi pada pasien berusia 40-60 tahun. Pemphigus sering dikaitkan dengan kanker, dan penyakit autoimun lainnya, seperti Myasthenia gravis.1
1.4 Penyebab
Penyebab pasti pemphigus vulgaris belum diketahui. Banyak teori yang mendasari timbulnya penyakit ini, antara lain karena virus, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Hal lain, seperti kelainan metabolisme, intoksikasi, dan psikogenik, lebih merupakan akibat, bukan penyebab pemphigus. Beutner dan Jordan (1964) dengan teknik imunofluresensi (IF), mendemonstrasikan adanya zat anti–IgG yang beredar di dalam serum penderita. Zat anti ini beraksi atau terikat pada substansi yang melekatkan sel-sel epidermis (substansia intraseluler). Ini spesifik untuk pemphigus vulgaris. Titer zat anti atau antibodi ini berhubungan dengan aktifitas/ berat ringannnya penyakit, sehingga mungkin dapat dipakai untuk mengevaluasi pengobatan. Pada pemeriksaan imunofloresensi langsung dengan menggunakan epitel berlapis sebagai antigen, misalnya selaput lendir kerongkongan kera atau bibir marmut, komplek antigen antibodi terlihat sebagai susunan retikuler di sepanjang stratum spinosum. Pemeriksaan IF langsung ini mempunyai arti penting untuk diagnosis, karena hasilnya positif pada awal penyakit dan tetap positif untuk waktu lama atau beberapa tahun setelah penyakit sembuh atau tanpa pengobatan. Dari pengamatan IF, jelas adanya peran mekanisme autoimun di dalam patogenesis pemphigus. Namun walaupun antibodi yang timbul spesifik terhadap pemphigus ternyata antibodi antiepitel tersebut bisa pula didapatkan pada penderita luka bakar, pemfigoid, NET, mikosis fungiodes, dan erupsi kulit karena penisilin. Hubungan pemphigus dengan HLA terlihat pada studi populasi terhadap penderita pemphigus yang menunjukan kenaikan HLA-A10 pada orang Jepang dan Yahudi yang menderita pemphigus. Dan ada hubungan kuat dengan HLA-DR4 pada orang Yahudi yang menderita pemphigus.2
1.5 Tanda dan Gejala
Keadaan umum penderita umumnya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kapala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula generalisata.3
Gejala klinis pemphigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa malaise, anoreksia, subfebris, kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal (pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan bula berdinding kendur yang timbul di atas kulit normal atau pada selaput lendir. Bila lesi mengenai paru akan timbul kesukaran menelan karena sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung, vulva, penis, dan mukosa hidung-anus.
Daerah predileksi biasanya mengenai muka, badan, daerah yang terkena tekanan, lipat paha, dan aksila. Bula berdinding kendur mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula mudah pecah dan menimbulkan daerah-daerah erosi yang meluas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan tertutup krusta. Bila terjadi penyembuhan, lesi meninggalkan bercak-bercak hiperpirmentasi tanpa jaringan parut.
Daerah-daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan bau yang merangsang dan tidak sedap. Tanda nikolsky dapat ditemukan dengan cara: kulit yang terlihat normal akan terkelupas apabila ditekan dengan ujung jari secara hati-hati atau isi bula yang masih utuh melebar bila kita lakukan hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal ini menunjukkan bahwa kohesi antar sel-sel epidermis telah hilang.2
1.6 Diagnosis
Pemphigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai keadaan umum yang lemah. Selain itu, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positif.
2. Test tzanck positif dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa akan terlihat sel tzanck atau sel akantolitik yang berasal dari sel-sel lapisan spinosum berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi sitoplasma jernih (halo).
3. Pemeriksaan hitopatologik: terlihat gambaran yang khas, yakni bula yang terletak supra basal dan adanya akantolisis.
4. Pemerikssaan imunofluoresensi.2
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi secara langsung didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan menurun dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.3
1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah kortikosteroid, karena bersifat imunosupresif. Yang sering digunakan adalah prednisone dan dexametasone. Dosis prednisone bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/ kgBB perhari bagi pemphigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametasone i.m. atau i.v. sesuai dengan equivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan cairan dan gangguan elektrolit perlu diperhatikan.3
Lever dan White mengajukan dosis 180-360 mg prednisone setiap hari sampai remisi lengkap, biasanya 6-10 minggu. Contoh: bila dosis awal prednisone 180 mg perhari diberikan sampai 6 minggu dan terjadi remisi lengkap, dosis segera diturunkan menjadi 90 mg perhari selama 1 minngu. Dan kemudian berturut-turut dosis diturunkan sebagai berikut:
- 45 mg setiap hari selama 1 minggu
- 30 mg setiap hari selama 2 minggu
- 20 mg setiap hari selama 3 minggu
- 15 mg setiap hari selama 4 minggu
- Selanjutnya dosis bertahan (maintenance) sampai kurang dari 15 mg/ hari.2
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan adjuvant yang terkuat ialah sitostatika. Efek samping kortikosteroid yang berat berupa atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebrae pars lumbalis.
Tentang penggunaan sitostatika sebagai adjuvant terdapat 2 pendapat:
- Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
- Sitostatika diberikan:
- Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respon.
- Terdapat kontra indikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus, katarak, dan osteoporosis.
- Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Obat sitostatika untuk pemphigus adalah:
- Azatioprin: obat yang paling lazim dan tidak begitu toksik seperti siklofospamid. Dosisnya 50-150 mg sehari (1-3 mg/ KgBB). Kemudian diturunkan bertahap.
- Siklofospamid: paling poten, tetapi efek sampingnya berat, jadi tidak dianjurkan. Dosisnya 50-100 mg perhari.
- Metotreksat: jarang digunakan karena kurang bermanfaat. Dosisnya 25 mg perminggu i.m. atau per os.
Pengobatan lain pada pemfigus adalah plasmaferesis, dan dengan siklosporin dengan dosis 5-6 mg/ KgBB per os.3
1.8 Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian adalah sepsis, kaheksia, dan ketidakseimbangan elektrolit. Dengan ditemukannya kortikosteroid dan imunostatik, maka prognosis pemphigus vulgaris sekarang ini lebih baik.3,6
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous. Pemphigus Vulgaris, Skin Cosmos, 2006. Dikutip dari http://www.skincosmos.com/id/pemphigus-vulgaris/ pada tanggal 30 Januari 2010.
2. Mawarli harahap, Prof. dr. Infeksi Jamur Kulit, Ilmu Penyakit Kulit. 2000. Editor: Prof.dr. mawarli harahap. Jakarta: Hipokrates.
3. Budimulja, Unandar. Penyakit Vesikobulosa, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keempat, 2006. Editor: Adhi Juanda, dkk. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Anonymous. Pemphigus Vulgaris. Dikutip dari http://dermatlas.med.jhmi.edu/derm/display.cfm?ImageID=-776552061 pada tanggal 30 Januari 2010.
5. Anonymous. Pemphigus Vulgaris. Dikutip dari http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/pemphigus_vulgaris.html pada tanggal 31 Januari 2010.
6. Siregar, Prof. Dr. Atlas Bewarna, Saripati Penyakit Kulit, Edisi Ke-2, 2003. Editor: dr. Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC.
0 komentar:
Posting Komentar