Sabtu, 27 November 2010

STEVENS JOHNSONS SYNDROME


A.   Pendahuluan
     Istilah Stevens Johnson Syndrome (SJS) akhir – akhir ini memang kerap terdengar di media massa. Penyakit ini adalah penyakit yang mengakibatkan kulit terbakar hebat yang biasanya disebabkan karena efek dari hipersensitifitas terhadap obat tertentu. Meskipun nama penyakit ini sudah lama dikenal dikalangan medis, namun karena penderitanya jarang sehingga kurang diketahui masyarakat.1
     Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, tetapi dengan terapi yangyang tepat dan cepat nyawa penderita dapat diselamatkan.2
B.   
         Defenisi
     Stevens Johnson Syndrome merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan kedaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula, dapat disertai purpura.2
Sinonim dari SJS antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, Eritema Eksudativum Multiforme Mayor, Eritema Poliform Bulosa, Sindrom Muko-Kutaneo-Okular, Dermatostomatitis, dll.3

C.    Insidensi
     Angka kejadian SJS cukup jarang, 1-2 kejadian per satu juta populasi pertahun. Resiko kematian cukup tinggi. Yaitu sekitar 5% dari kejadian. Penyebab terjadinya SJS 70% diperkirakan dipicu oleh obat.4
     Bentuk klinis SJS berat jarang dijumpai pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SJS daripada perempuan. Tidak terdapat kecendrungan rasial terhadap SJS walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.5

D.   Penyebab
     Dari penelitian AAP 2009 dikomfirmasi 4 obat yang sangat dicurigai ( highly suspected) sebagai faktor risiko SJS yaitu antibiotik sulfonamide, fenobarbital, carbamazepin dan lamotrigin.
Dari Fitzpatrick-Dermatology obat yang termasuk resiko tinggi adalah: allopurinol, sulfametoksazol, sukfadiazine, sulfadoksin, sulfasalazin, carbamazepin, lamotrigin, fenobarbital, fenitoin, fenilbutazon, nevirapin, NSAID golongan oxicam, thiacetazon. Yang resiko rendah: NSAID golongan asam asetat, penisilin, sefalosporin, quinolon, antibiotik golongan makrolida.4
     Selain itu, faktor penyebab timbulnya SJS juga bisa karena infeksi virus ( Herpes simpleks, Mycoplasma pneumoniae, Vaksinia), Jamur ( koksidioidomikosis, histoplasma), bakteri ( streptokokus, staphylococcus haemolyticus, mycobacterium tuberculosis, salmonella), makanan (coklat), Fisik ( udara dingin, sinar matahari, sinar X), penyakit kolagen, keganasan, kehamilan dan lain-lain.5

E.    Gejala
     Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadaran menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorok.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa kelainan di kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.
1.     Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura.
2.     Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang ( masing-masing 8% dan 4 %).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak adalah krusta berwarna hitan yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus.stomatitis ini menyebabkan penderita sukar/ tidak dapat menelan.
3.    Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupakonjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Disamping trias kelaina tersebut dapat pula dijumpai kelainan lain seperti nefritis dan onikolisis.2
F.    
        Pemeriksaan penunjang
·         Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis sel, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik ( kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
·         Hasil biopsi dapat menunjukkan adanyanekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.
·         Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan
·         Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosibofil.
·         Kadar IgG dab IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat di deteksi adanya kompleks imun yang beredar.
·         Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intra sel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial.
·         Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.5

G.   Penatalaksanaan
Segera dibawa ke praktisi kesehatan terdekat.
Penatalaksanannya meliputi 3 komponen:

1.Mengidentifikasi dan menghilangkan/mengobati agen yang memprovokasi (jauhkan dan hentikan obat yang diduga sebagai penyebab atau obati penyakit yang mendasarinya).

2.Terapi aktif:

a. Kortikoteroid
Penggunaan kortikosteroid masih menjadi kontoversi. Ada penelitian pada anak, yang menyebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan penyembuhan yang terlambat dan efek samping yang besar. Disamping itu jika diberikan terlalu lama melebihi dari fase progresif maka terjadi peningkatan resiko infeksi dan memberikan kontribusi yang bermakna terhadap anka kematian, namun jika pemberian kortikosteroid diberikan dengan dosis dan jangka waktu yang benar maka tidak menyebabkan efek yang buruk. Ada penelitian lain yang menyimpulkan bahwa, pemberian kortikosteroid sangat bermanfaat dan dapat menyelamatkan nyawa penderita SJS.
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh, maka diobati dengan minum methyl prednisolon 1-2mg/KgBB perhari dan diturunkan secara bertahap secepatnya seiring dengan berhentinya progress dari penyakitnya. Dapat juga diobati dengan prednisone 30-40 mg perhari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh, maka digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg perhari, disini kortikosteroid merupakan tindakan live saving.
Pada pasien SJS berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6 x 5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, dan lesi lama mengalami involusi, dosis segera diturunkan secara cepat setiap hari diturunkan 5 mg. setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg perhari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Total lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemi diberikan KCl 3 x 500mg perhari per oral dan diet rendah garam bila terjadi hipernatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid seperti nandroloks dekanoat dan nandrolon fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa.

b)
Antibiotik
Pada banyak kasus, pasien mendapat antibiotik setelah gejala klinis dan infeksi nampak jelas atau organisme telah diidentifikasi dari kultur. Hal ini berhubungan dengan keengganan dari para dokter untuk memberikan antibiotik profilaksis karena adanya kekhawatiran antibiotik yang akan diberikan juga menambah parahnya penyakit SJS akibat intoleransi obat. Namun pada kenyataannya, antibiotik jarang menyebabkan SJS. Dari referensi yang kami dapat menyebutkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis (sodium penicillin, 2 x 10 juta unit perhari) dari awal dan diteruskan dengan antibiotik yang sesuai dengan kultur organisme yang didapat akan menurunkan angka mortalitas pasien Nekrolisis Epidermal Toksik (penyakit mirip SJS namun angka kematiannya lebih besar daripada SJS). Referensi yang lain menyebutkan bahwa untuk mencegah infeksi dapat diberikan sntibiotik yang jarang menyebabkan alergi, bersprektum luas dan bersifat bakterisidal misalnya gentamicin, 2 x 80 mg.

3.pengobatan supportif
a)
oksigenasi, dan perawatan saluran nafas yang lain seperti drainase postural serta jika diperlukan suction yang dilakukan dengan hati-hati.
b)
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan serta kesadaran menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
c)
Rasa gatal dapat diberikan antihistamin.
d)
Terapi topikal untuk lesi mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak. Fase akut pada konjungtivitis, sebaiknya diberikan tetes mata lubricants, steroid dan antibiotik. Penempelan kelopak mata sebaiknya dibersihkan dan dibebaskan dua kali sehari untuk menghindari oklusi forniks

H.   Prognosis
      Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5 – 15 % pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih buruk bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia serta sepsis.




                                            DAFTAR PUSTAKA

  1. http://news.uns.ac.id/2009/04/07/stevenjohnsonsyndrome/
  2. Djuanda, Adhi. 2005. ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN. FK UI: Jakarta
  3. http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-johnson/
  4. http://www.sehatgroup.web.id/?p=1127
  5. http://childrenallergyclinic.wordpress.com/

0 komentar:

newer post older post Home